Banda Aceh dalam Siklus Perdagangan Maritim

DaTaaceh.com Apabila kita merunut ke belakang, nenek moyang bangsa Indonesia merupakan suku bangsa yang mempunyai kebudayaan bahari. Berbagai bukti masa prasejarah Indonesia dapat memberikan pemahaman bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah sebagian besar bangsa pelaut atau pengembara, dengan menggunakan potensi laut sebagai sarana untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan kepentingan antarbangsa, seperti halnya untuk perdagangan dan transportasi serta komunikasi dengan bangsa atau daerah lain, serta memanfaatkan sumber daya alam di laut sebagai salah satu sumber mata pencaharian hidup.

Dalam perkembangan peradaban Nusantara, Aceh merupakan salah satu kerajaan yang memiliki dasar nilai-nilai kebudayaan kebaharian. Sebagai kerajaan maritim yang kuat di Asia Tenggara, telah mendasarkan politik kerajaan pada penguasaan dalam pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan laut yang kuat.

Sebelum kedatangan bangsa Barat, kegiatan perdagangan di wilayah Nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan Internasional. Jalan perniagaan melalui laut telah dimulai dari Cina melalui laut Cina, Selat Malaka, India, Teluk Persia, Suriah hingga ke laut Tengah.[1]

Perjalanan dari satu pelabuhan tempat pemberangkatan ke pelabuhan lain sebagai tujuan perdagangan pada umumnya menghasilkan waktu yang relatif lama. Burger menggambarkan pelayaran dari Aceh ke Cina menghabiskan waktu sekitar 20 hingga 30 hari. Dengan sendirinya biaya angkut barang menjadi cukup tinggi sehingga harga jual barang dagangan menjadi tinggi pula.


Tiada seorangpun kiranya yang membantah bahwa Banda Aceh tergolong ke dalam kelompok kota tertua di antara ibukota propinsi dan kota-kota besar yang terdapat di dalam gugusan Kepulauan Nusantara. Ia bersama-sama dengan Malaka telah pernah menduduki posisi penting dalam arus lalu lintas perniagaan Timur dan Barat pada abad ke XVI - XVII. Namun demikian, faktor usia tampaknya tidak selalu menjadi kartu jaminan bagi pertumbuhan selanjutnya. Kenyataan empiris memperlihatkan kepada kita bahwa kota-kota yang tumbuh kemudian ; seperti Padang, Singapura dan Medan, melaju jauh iebih cepat dari kota Banda Aceh dalam kegiatan perniagaan internasional.

Berangkat dari kenyataan di atas, penulis akan berusaha untuk menelusuri perkembangan kota Banda Aceh sebagai salah salu pusat perdagangan maritim internasional di kawasan barat Nusantara, bagaimana bentuk dan sifat perdagangannya, jenis komoditas apa saja yang diperdagangkan, dan kelompok sosial mana saja yang ambil bagian dalam kegiatan itu.
Aceh dalam Kurun Niaga

Seperti kebanyakan kota besar lainnya di Asia Tenggara, kota Banda Aceh (Bandar Aceh Darussalam) tumbuh di pinggir sungai yang sekaligus menjadi jalur lalu lintas per­niagaan dengan dunia luar dan sumber pencaharian penduduk.

Para pelancong asing yang pernah berkunjung di ibu kota sebelum era Perang Aceh, seperti misalnya Sir James Lancaster pada tahun 1601, Laksamana Beaulieu pada tahun 1620-1 atau Jhon Anderson pada tahun 1820-an,[2] secara tegas mengatakan bahwa sungai itu berfungsi sebagai jalur utama untuk memasuki kota, walaupun muaranya sedikit agak dangkal dan medannya sulit. Muaranya berawa-rawa, sedangkan ibukota terletak pada suatu dataran rendah dengan tanah subur sekelilingnya dan dilingkari oleh perbukitan.[3]

Posisi georgrafi yang terletak pada ujung utara pulau Sumatera dan pada sebuah teluk yang memungkinkan kapal-kapal niaga keluar masuk ke jurusan Birma, Benggala atau Srilangka, Kalikut, Malaka, dan pantai barat Sumatera memberi keuntungan kepada kota Banda Aceh dan daerah sekitarnya dalam kontak perniagaan Timur-Barat semenjak dahulu kala.

Bersamaan dengan munculnya kerajaan-kerajaan otonom di daerah Aceh seperti Pasai dan Padir sebelum tahun 1500, para pelancong asing, seperti Marco Polo dan Laksamana Chengho, mencatat pula bahwa di daerah di sekitar teluk tersebut telah berdiri kerajaan Lamuri yang menghasilkan rempah-rempah walaupun tidak sepenting Pedir atau Pasai.[4]

Begitu membangun basis kekuasaannya di kota Bandar Aceh Darussalam, sultan Ali Mughayatsyah kelihatannya melibatkan langsung kota tersebut dalam arus perniagaan internasional, walaupun porsinya tidak sesibuk atau seramai Pidie dan Pasai.[5]Tome Pires, Pejabat Portugis yang pernah lebih dua tahun bermukim di Malaka setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, mengatakan bahwa Sultan lerlibat dalam perniagaan dengan memiliki kapal (lanchara) sebanyak 40 buah. Komoditas yang diperniagakan adalah berupa bahan makanan, beras dan rempah-rempah. Walaupun daerah hinterland Banda Aceh telah menghasilkan lada, akan tetapi produksinya lebih rendah dari apa yang dihasilkan di daerah Pidie.

Keadaan mulai berubah setelah para Sultan berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan otonom yang telah ada di kedua sisi pantai Sumatera (Daya, Singkel, Barus, Tiku, Pariaman, Lamuri, Pidie, Pasei, Peureulak, Aru, Deli, Siak dan malah Johor atau Pahang). Daerah-daerah terakhir dengan potensi daerah hinterlandnya yang cukup kaya akan persediaan komoditas pertanian/hutan seperti lada, pinang, beras, damar, dan kapur barus, ataupun bahan mineral seperti emas, belerang, dan minyak tanah, merupakan sumber empuk bagi pemasukan dan pembiayaan istana, karena kondisi ibukota mempunyai potensi daerah pedalaman yang terbatas. Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila Sultan memberlakukan serangkaian kebijaksanaan yang bersifat pembatasan daerah takluk dengan dunia luar dan sekaligus memaksakan kapal-kapal asing untuk berhubungan dengan ibukota.[6]

Akibat nyata dari kebijaksanaan di atas, Bandar Aceh Darussalam bertumbuh jadi kota perniagaan yang ramai. Jhon Davis, Kapten salah sebuah kapal rombongan Cornelis De Houtman yang berlabuh di ibukota pada tahun 1599, memberikan kesaksian kepada kita bahwa tatkala ia memasuki pelabuhan Aceh, ia menemukan empat buah kapal asing sedang berada di pelabuhan ; yaitu tiga buah berasal dari Arab dan satu buah dari Pegu[7] Tiga tahun kemudian, Sir James Lancaster yang tiba pada masa pemerintahan Sultan Saidil Mukamil, kakek Sultan Iskandar Muda, mengatakan bahwa ia menyaksikan 16 atau 18 buah kapal niaga dari berbagai bangsa yang berlabuh di pelabuhan Aceh.

Dalam lalu lintas perniagaan internasional itu, posisi kota Banda Aceh kelihatannya lebih bersifat "entrepot" dari komoditas ekspor. Situasi demikian tentulah berkaitan erat dengan kondisi dan potensi "hinterland" ibukota yang tidak begitu banyak memproduksikan bahan ekspor. Laksamana Beaulieu yang pernah menetap di kota Banda Aceh pada tahun 1621 mencatat produksi lada, yang waktu itu merupakan primadona ekspor, di sekitar kota hanya 500 bahar per tahun[8] sememara Jhon Davis yang telah tiba di ibukota Kesultanan dua puluh tahun sebelumnya memperkirakan produksi lada di daerah itu hanya berkisar 20 kapal per tahun.

Keuntungan pertama yang dipetik oleh para Sultan dalam pemusatan perniagaan di ibukota adalah penarikan bea cukai terhadap barang niaga yang keluar masuk pelabuhan di ibu kota dilakukan oleh petugasnya.[9] Para pedagang asing yang berlabuh di ibu kota diharuskan pula untuk mempersembahkan upeti kepada Sultan. Demikian pula kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan dikenakan pula bea jangkar atau bea kawal . Di samping itu, sultan memiliki pula beberapa hak istimewa terhadap pedagang asing, seperti hak tawanan karang dan hak mewarisi harta pedagang asing yang meninggal dunia di Aceh tanpa memiliki ahli waris.

Keuntungan yang berakumulasi dari kegiatan perniagaan itu segera dimanfaatkan untuk menyangga dan memupuk kekuasaan Sultan. Porsi yang pertama tentulah diperuntukkan bagi pembiayaan istana dengan gaya hidup yang berlebihan [10] berikutnya adalah untuk membiayai angkatan perang yang mempunyai missi untuk menegakkan kedaulatan Sultan.
Sukar diketahui apakah pemusatan perniagaan internasional di ibu kota Bandar Aceh Darussalam itu benar-benar efektif. Suatu hal yang jelas bahwa sejak bagian kedua abad ke- 17 posisi Bandar Aceh Darussalam sebagai ekspor perniagaan interna­sional semakin melorot terus, walaupun bersamaan dengan kemerosotan kesultanan itu pantai barat Aceh dan pantai utara Aceh muncul sebagai daerah produsen lada yang cukup besar. Sultan tampaknya tidak dapat berbuat banyak terhadap kota-kota pelabuhan baru, seperti Idi, Susoh, Kuala Batu, Lhok Seumawe, yang bermunculan sebagai akibat dari eksistensifikasi penanaman lada dan pinang. William Marsden, pejabat Inggris yang lama sekali menetap di Bengkulu (Fort Marlborough) sejak tahun 1770, memberitakan bahwa pedagang- pedagang asing berhubungan langsung dengan pelabuhan-pelabuhan yang ter­dapat di pantai barat atau utara Aceh untuk memuat atau memunggah barang niaga[11] Pemandangan serupa tetap berlangsung sampai permulaan abad ke 19, akibatnya banyak penguasa lokal di daerah pelabuhan seperti Leube Dappa di Susoh dan Kuala Batu, Tuanku Pakeh di Pidie, Teuku Muda Nyak Malem di Simpang Ulim, dan Teuku Paya di Lambada muncul sebagai penguasa kaya dari hasil kegiatan dagang yang mereka lakukan[12] 

Pedagang
Pelaku-pelaku yang terlibat dalam perdagangan internasional itu terdiri atas pedagang keliling dan pedagang lokal, pedagang keliling umumnya berasal dari pendatang bangsa asing yang menyinggahi pelabuhan Aceh untuk bongkar-memuat barang dagangan. Mereka terdiri atas bangsa-bangsa Eropa (Portugis, Inggris, Perancis dan Belanda), bangsa Amerika Serikat, bangsa-bangsa India (keling, Malabar, Gujarat) bangsa Turki, bangsa Arab, bangsa Persia, bangsa Birma (Pegu), bangsa Cina, dan pedagang dari Nusantara (Malaka dan Jawa).[13] Kadangkala pedagang-pedagang keliling itu menetap dan membentuk kampung-kampung di dalam kota, seperti kampung Keudah, kampung Jawa, kampung Peulanggahan, atau kampung Pande, yang ada di Banda Aceh. Pedagang lokal umumnya terdiri atas kaum bangsawan atau orang kaya.

Barang dagangan
Di samping mengambil posisi sebagai "enterpot" dari komoditas ekspor, Kota Banda Aceh memerlukan berbagai komoditas impor yang dibutuhkan bagi keperluan penduduk. Mata dagangan yang didatangkan ke Bandar Aceh Darussalam itu terdiri antara lain ; beras, tembakau, opium, kain, mesiu, dan bahan tembikar[14] Sukar sekali kita peroleh angka-angka tentang jumlah satuan barang yang diperniagakan di dalam kota. Namun bagaimanapun, jumlah barang yang dikonsumsi tentu berkaitan erat dengan jumlah penduduk yang mendiami kota dan daerah hinterlandnya. Nicolaus de Graaf, orang Belanda yang datang ke Aceh pada tahun 1641, dan Dampier, orang Inggris pada tahun 1688, mengatakan kota Banda Aceh mempunyai keliling 2 mil dengan jumlah rumah sekitar 7000 atau 8000 buah. Perkiraan di atas kelihatannya tidak jauh meleset dengan yang dilakukan oleh Anderson pada permulaan tahun 1800 yang menyatakan pen­duduk Bandar Aceh Darussalam adalah 36.000 jiwa.[15]

Apabila diperhatikan dari komoditas yang diperniagakan di atas, ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi. Komoditas ekspor terdiri atas hasil hutan atau hasil perkebunan dalam bentuk ladang yang tidak menuntut suatu tehnologi yang tinggi atau organisasi sosial yang rumit. Lada yang merupakan primadona ekspor pada waktu itupun dikerjakan dengan sistem perladangan oleh petani. Jika petani-petani itu terkonsentrasi pada sebuah areal maka terbentuklah persekutuannya yang disebut seuneubok, sementara jika petani petani itu dimodali oleh orang lain, pemodal tersebut yang umumnya kaum bangsawan dinamai peutuha pangkay.

Transaksi perniagaan telah pula memunculkan sistem takaran, timbangan dan mata uang. satuan takaran atau timbangan yang berlaku tampaknya terkait dengan sistem umum yang berlaku di kawasan barat nusantara pada waktu itu; yaitu koyan, bahar, pikul, dan kati.[16]

Pasar
Pasar yang terdapat di dalam kota Bandar Aceh Darussalam hendaknya jangan diartikan sebagai pasar moderen yang bersifat abstrak, melainkan lebih bersifat konkrit, artinya produsen dan konsumen melakukan transaksi ditempat-tempat itu, lokasi pasar kelihatannya kerapkali berubah sesuai dengan situasi politik dalam ibukota. Sebagai contoh pada masa permulaan pemerintahan Sultan Alaiddin Jauhansyah (1735-1760), saingannya Sultan Jamal alam Badr al Munir, menjadikan kampung Jawa sebagai pusat kegiatan perniagaan.[17] Pejabat Kesultanan yang bertanggung jawab terhadap pelabuhan dan pasar di sebut Syahbandar.

Alat Tukar dalam Perdagangan
Menurut catatan sejarah, sejak abad XII dan abad XIII sudah berlangsung hubungan perdagangan antara Negeri Cina di timur dan India (Cambay) di barat dengan Kerajaan Pasai. Pedagang-pedagang Cina yang menggunakan perahu-perahu jong yang berniaga pada kota-kota pelabuhan dalam wilayah Kerajaan Pasai pada waktu itu telah mempergunakan mata uang perak yang bernama ketun sebagai alat tukar dalam mendapatkan barang-barang dari penduduk setempat. Uang ketun ini bentuknya panjang, lebar, dan beratnya hampir sama dengan ringgit Spanyol yang kemudian diedarkan oleh orang-orang Portugis di beberapa kerajaan di Aceh.2 Mata uang ketun ini beredar dan berlaku hingga masa datangnya orang-orang Portu­gis yang pada tahun 1521 berhasil menduduki Kerajaan Pasai.[18]

Kerajaan Aceh Darussalam baru mengeluarkan mata uang emas sendiri yaitu pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayatsyah al-Kahhar (1537 - 1568), yang populer dengan sebutan Sultan Al-Kahhar. Menurut sumber lokal (Kisah Lada Sicupak) Sultan al-Kahhar pernah mengirim utusan kepada sultan Turki dan sebaliknya oleh sultan Turki dikirim ke Aceh ahli-ahli dalam berbagai bidang keterampilan seperti ahli dalam pembuatan senjata (penuangan meriam) dan juga para ahli dalam pembuatan mata uang. Kepada orang-orang Turki inilah Sultan al-Kahhar menyuruh membuat mata uang emas yang juga disebut dengan nama deureuham (dirham), menurut nama mata uang Arab. Sultan Aceh menetapkan ringgit Spanyol sebagai kesatuan mata uang yang hendak dilaksanakan itu. Ditetapkan pula bahwa dari sejumlah emas untuk satu ringgit Spanyol dapat ditempa menjadi 4 deureuham, sehingga 4 deureuham sama dengan satu ringgit Spanyol. Selanjutnya mutu emas yang diperlukan untuk mata uang emas harus pula memenuhi syarat, yaitu kadarnya harus sikureueng mutu (sembilan mutu). Berdasarkan jenis logam yang digunakan untuk membuat deureuham, maka mata uang itu dinamakan pula meuih (mas).

Dari orang-orang Inggris sultan membeli mata uang tembaga yang di atasnya dibubuhi gambar seekor ayam betina, yang dinamakan duet manok (mata uang ayam betina). Sultan menetapkan pula bahwa untuk 1000 duet manok ini sama nilainya dengan 1 ringgit Spanyol. Adapun hitungan mata uang yang ditetapkan sultan ini adalah, 1 ringgit meriam sama dengan 4 meuih (mas), 1 meuih (mas) sama dengan 250 duet manok (duit ayam betina).[19]
Selain membuat mata uang emas yang disebut deureuham, Kerajaan Aceh pada waktu itu juga membuat mata uang dari timah yang dinamakan keuh. Jhon Davis nakhoda pada kapal Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman yang datang ke Kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayatsyah al-Mukammil (1588 -- 1604) menyebutkan ada dua jenis mata uang yang utama yang beredar di Kerajaan Aceh pada waktu itu, yaitu mata uang emas yang bentuknya sebesar uang sen di Inggris dan mata uang dari timah yang disebut casches (yang dimaksud mungkin yang dinamakan oleh orang Aceh keuh, orang Portugis menyebutnya coxa, dibuat dari timah dan kuningan, Belanda menyebutnya kasja atau kasje). Selain kedua jenis mata uang utama tersebut, terdapat pula jenis-jenis mata uang lain seperti yang disebut kupang (mata uang yang dibuat dari perak), pardu (juga terbuat dari perak yang ditempa oleh Portugis di Goa), dan tahil. Adapun nilai dari masing-masing mata uang tersebut adalah, nilai 1600 casches sama dengan 1 kupang; 4 kupang sama dengan satu deureuham, 5 deureuham (uang emas) sama dengan 4 schelling (sic.) Inggris, 4 uang emas sama dengan 1 pardu dan 4 pardu sama dengan 1 tahil.[20]

Sistem mata uang tersebut di atas tidak mengalami perubahan hingga pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607 --1636). Di bawah sultan ini ia menetapkan suatu ketentuan terhadap mata uang emas yaitu dari jumlah emas yang sama tanpa mengubah kadar emasnya, 1 uang emas (1 deureuham) dijadikan 5 deureuham. Meskipun nilai emas yang sebenarnya telah dikurangi, tetapi nilai peredarannya masih tetap dapat dipertahankan seperti sebelumnya. Jadi 4 deureuham emas tetap bernilai 1 ringgit Spanyol dalam peredarannya.[21]

Di bawah pemerinlahan Sultanah Tajul Alam Safiatuddinsyah (1641 - 1675) puteri Sultan Iskandar Muda, dilakukan lagi pengurangan timbangan emas dari sebuah deureuham ; bahkan sultanah ini juga mengurangi pula kadar emasnya. Dari sejumlah emas untuk menempa satu ringgit Spanyol ia menyuruh tempa menjadi enam buah deureuham dengan mengurangi kadar emasnya dari 9 menjadi 8 mutu meuih atau menurut hitungan emas Belanda menjadi 19,2 karat. Walaupun demikian deureu­ham ini tidak berubah dalam nilai sirkulasinya seperti sebelum­nya. Sultanah ini juga memerintahkan supaya dikumpulkan semua deureuham yang telah diperbuat sebelum masa pemerintahannya untuk kemudian dilebur menjadi deureuham baru.[22] Itulah sebabnya mungkin deureuham-deureuham yang berasal dari sultan-sultan yang memerintah di Kerajaan Aceh sebelum sultanah ini sangat sukar diperoleh.

Sesudah pemerintahan Tajul Alam, tidak ada lagi sultan-sultan di Kerajaan Aceh yang menempa mata uang deureuham. Baru pada masa pemerintahan Sultan Syamsul Alam (1723) ditempa sejenis mata uang sen yang dinamakan keueh Cot Bada. Penamaan demikian karena mata uang ini beredar di wilayah Cot Bada saja yang memiliki pasar yang sangat ramai. Nilainya 140 keueh Cot Bada ini sama dengan 1 ringgit Spanyol. Selanjutnya pengganti Sultan Syamsul Alam yaitu Sultan Alauddin Ahmadsyah (1723 - 1735) menempa lagi pecahan mata uang timah yang juga dinamakan keueh. Ia menetapkan bahwa 800 keueh ini bernilai 1 ringgit Spanyol. Dengan demikian, mata uang berlaku di Kerajaan Aceh pada wakfu itu, yaitu 1 ringgit Spanyol sama dengan 4 deureuham, 1 deureuham sama dengan 200 keueh[23]

Pembuatan mata uang keueh terus berlanjut pada pemerintah sultan-sultan selanjutnya hingga yang terakhir yaitu Sultan Alauddin Mahmudsyah (1870 - 1874). Semenjak waktu itu dan seterusnya Kerajaan Aceh terlibat perang dengan Belanda.

Salah satu kesimpulan yang dapat kita tarik dari pengalaman Banda Aceh dalam perniagaan Internasional menunjukkan betapa pertautan yang erat antara kegiatan perniagaan dengan kegiatan politik. Kejayaan Kota itu sebagai salah satu pusat perniagaan internasional di kawasan barat Nusantara pada permulaan pertama abad ke 17 hendaklah dilihat dalam konteks kemampuan Sultan untuk menjadikan Kota Banda Aceh sebagai pusat kekuasaan pada waktu itu. Ketika kekuasaan Sultan merosot, posisi Banda Aceh sebagai entrepot itu bukan saja diambil alih oleh pusat-pusat baru, seperti Penang dan Singapura, dengan fasilitas infrastruktur moderen yang dibangun oleh pemerintah Kolonial, melainkan juga Kota Banda Aceh terpaksa berbagi kegiatan dagang dengan pelabuhan-pelabuhan lain yang muncul di pantai barat dan utara Aceh

Kegiatan perniagaan Internasional pada masa kejayaan itu tampaknya bertumpu atau bersumbu pada istana. Artinya ia berfungsi untuk mensuplai barang mewah atau konsumsi bagi keperluan istana dan perangkatnya serta sekaligus bagi menghidupi istana melalui berbagai bentuk bea atau pungutan (adat cap atau lapik) yang dikenakan oleh Sultan. Karenanya pelaku-pelaku dalam kegiatan perniagaan internasional itu-kecuali pedagang asing - adalah pejabat-pejabat kerajaan atau kaum bangsawan, sementara sebagian besar penduduk lainnya tetap terserap dalam kegiatan pertanian tradisional yang hampir bersifat swasembada.

Satu pernyataan yang menarik untuk dijawab pada akhir tulisan ini adalah bagaimana prospek kota Banda Aceh dalam perniagaan internasional pada masa kini dan mendatang. Memang sukar untuk menjawab. Namun bagaimanapun, faktor hinterland, faktor perkembangan pasar dunia, faktor politik, dan faktor perbaikan kwalitas struktur perniagaan merupakan variabel-variabel yang saling tumpang tindih dalam menentukan posisi kota Banda Aceh pada hari-hari mendatang sebagai salah satu mata rantai perniagaan dunia.

referensi:
[1]J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society, 1967. KITLV.
[2]Jhon Anderson, Acheen and the ports on the north and the East Coast of Sumatra (edited by A.J.Reid), Oxford University Press, 1970, p. 22.
[3] Ibid., p.23
[4] W.P. Groeneveldt. Notes on the Malay Archipelago and Malacca, I887, pp.220 - 221.
[5]The name Oriental of Tome Pitta, Edisi Bohasa Inggris diedit oleh Armando Cortesio, vol. 1. The Hakluyit Society, 1944, p. 139
[6] Anderson, op.cit p.45-46.
[7] The Voyages and works of Jhon Davis, edited by Albert Hasting The Hakluyit Society, London, MDCCCLXXX, p.. 140.
[8] Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (terjemahan), Balai Pustaka, 1986, hlm. 88.
[9] Adat Atjeh dari satu manuscript India Office Library, ditranskripsi oleh Teungku Anzib Lamnyong, P.L.P.I.I.S Aceh, 1976, hlm. 52 - 73.
[10] Denys Lombard, op.cit, hlm.. 64 - 66, 182 - 193.
[11]William Marsden, The History of Sumatra, 1975, hlm. 397-398
[12] Antony Reid, The Contest for North Sumatra. Atjeh, the Nederlands and Britain 1858 - 1898, Oxford University Press, 1969, hlm. 7,14,80,129-133.
[13] Denys Lombard, Ibid., hlm. 150-165.
[14]Adat Atjeh op. cit., hlm. 61, 62, 69, 72, 73.
[15]Jhon Anderson, loc. cit.
[16]1 koyan = 10 bahar, 1 bahar - 2 pikul atau 200 kati, 1 pikul = 100 kati, 1 kati = 0,62 Kg.
[17] Menurut peta-peta ibukota yang dibuat oleh Belanda pada permulaan perang Aceh, lokasi Peukan Aceh terletak pada pertemuan Krueng Daroy dengan Krueng Aceh atau pada lokasi kantor C.P.M sekarang
[18] K.F.H. Van Langen, ”De Inrichting van het Atjehsche Staatsbertuur onder het Sultanaat” dalam BKI 37 (1888), hlm.428.
[19] K.F.H. van Langen, Ibid., 430.
[20]Julius Jacobs, Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh, deel II, (Leiden : E.J. Brill, 1894), hlm. 184.
[21] K.F.H. van Langen, Ibid., 430
[22] Ibid., 431.
[23] Ibid.

Oleh Sudirman


sumber :galeriaceh.blogspot.com

Produk Kami Lainnya :

iklan

 
ibs(idblogsite)