DaTaaceh.com Jakarta - Banyak yang percaya bahwa apatisme dalam kehidupan berbangsa tengah menguat. Saya justru seribu persen yakin bahwa bangsa ini akan semakin maju, sejahtera dan merasakan kemakmuran yang berkeadilan. Kerja keras, cerdas, tuntas dan ikhlas dalam synergy seluruh elemen bangsa, sangat diperlukan untuk merealisasikan cita-cita mulia tersebut.


Hanya saja, dari berbagai proses diskusi dan aksi bersama para pemangku kepentingan bangsa, tiba pada kesimpulan, bahwa ada beberapa mitos keliru yang membelenggu alam pikiran segenap lapisan masyarakat. Mitos keliru ini menjadi benteng kokoh yang menghalangi cahaya optimisme, memperbudak mentalitas dan kesadaran manusia Indonesia. Karena itu, memerdekakan diri dari mitos yang salah kaprah adalah langkah ampuh untuk mengakselerasi kemajuan bangsa. Setidaknya ada lima mitos keliru yang harus diwaspadai, dikritisi dan dieliminasi. 



Mitos pertamapandangan yang menyatakan Indonesia kekurangan entrepreneur. Entrepreneur yang terdidik dan besar, memang masih sedikit. Namun, mengapa 55 juta lebih Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dipandang sebelah mata, bahkan diabaikan? Mereka memang pada umumnya berbisnis karena terpaksa, by default, by accident, sebab tidak ada lagi lapangan pekerjaan.



Baru-baru ini, saya banyak bertemu anak muda dengan penuh antusias memulai usaha, merangkak dari usaha mikro dan naik terus bertumbuh volume bisnisnya. Para profesional yang memilih berbisnis dibandingkan tetap jadi karyawan. Karena itu, berdayakanlah UMKM dengan sepenuh hati, jangan hanya menjadi isu dan jargon politik. Apabila dibina dengan baik, mereka akan mampu naik kelas dari sisi kapasitas dan volume bisnisnya. Merekalah pilar besar industri dan pertumbuhan ekonomi nasional. Berikanlah pendidikan, keterampilan, kemampuan pemasaran, pengelolaan administrasi dan jaringan kerja. 



Untuk para Industriawan besar, jadilah plasma bagi industri-industri kecil. Hilangkan segera ego sektoral. Jangan sampai program pembinaan UMKM ada di belasan instansi pemerintah jadi mangkrak. Buatlah database-nya, sehingga program pembinaannya tepat sasaran. Libatkan kalangan pengusaha, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat dalam suatu road map yang komprehensif.



Mitos kedua menyebutkan, Indonesia kekurangan sumber pendanaan bagi industri dalam negeri. Jika ia, mengapa industri jasa keuangan seperti perbankan dan asuransi tumbuh subur? Banyak dana yang tidak terkelola dengan baik di masyarakat. Banking ratio masih sekitar 30 persen. Berarti lebih dari 100 juta rakyat Indonesia yang belum memiliki rekening bank. Saking banyaknya dana masyarakat, muncul oknum penjahat kerah putih. Mereka membuat skema investasi palsu dan banyak masyarakat yang tertipu oleh produk investasi bodong. Belum lagi dana pensiun yang jumlahnya terus bertambah, lebih dari ratusan triliunan rupiah. Karena itu, adalah mitos anggapan yang menyatakan bahwa bangsa ini kekurangan sumber pendanaan. Hanya pengelolaan dana masyarakat yang belum optimal.



Mitos ketiga, industri strategis dikuasai asing. Faktanya, jika dibandingkan dengan negara seperti Malaysia dan Bolivia sekalipun yang terang-terangan anti asing, Indonesia masih di bawah 10 persen total investasi asingnya untuk sektor industri strategis. Hanya saja, industri strategis yang umumnya dikelola oleh BUMN Strategis dan perusahaan swasta lainnya, banyak yang belum bisa berkembang dengan sejumlah faktor penyebabnya. Mereka tidak mendapatkan dukungan pembiayaan, jasa dan produknya kurang dihargai dan tidak ada kebijakan yang terintegrasi. Beruntung banyak proses transformasi di BUMN belakangan ini dan kita berharap, industri strategis ini bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri


Mitos keempat, takut pada serbuan produk impor. Jelas ini berlebihan, karena kelas menengah bangsa ini sangat cerdas. Pasti mereka memilih produk dalam negeri yang berkualitas dan harganya murah. Dalam berbagai lawatan ke Eropa dan Amerika, saya menemukan banyak sekali produk Indonesia yang masuk di kelas premium, khususnya di industri pakaian. Jika harus memilih, kelas menengah kita akan mencari produk berkualitas prima, dengan harga termurah dan syukur-syukur itu produk buatan Indonesia. Merupakan tantangan bagi pengusaha untuk segera menciptakan produk kelas dunia. Jangan hanya berlindung di bawah nasionalisme sempit, produk impor harus dibatasi.

Mitos kelima, silent majority versus vocal minority. Seolah-olah, mereka yang sering berbicara di media massa mewakili keseluruhan anak bangsa. Padahal, mayoritasnya memilih diam. Diam bukan berarti tidak bersikap, boleh jadi merupakan bentuk apatisme. Ketika harapan muncul, mereka akan bergerak, baik itu menghukum para elit politik yang tidak amanah melalui social media atau mendukung pemimpin yang dinilai memberikan harapan (inspiring leaders). Pilihan golput dalam berbagai pemilihan kepala daerah adalah contoh silent majority ini. Saatnya mengajak silent majority untuk berbicara dan bertindak bersama dengan prinsip mutual trust. Merekalah modal sosial yang sesungguhnya, kekuatan utama perubahan bangsa ini. Ada kabar baik yang cukup menggembirakan akhir-akhir ini, silent majority bangkit dan kita mulai melihat beberapa inspiring leaders muncul di daerah. Sebut saja Wali Kota Surabaya, Wali Kota Bandung dan yang akan siap beraksi Wali Kota terpilih Bogor dan Makassar.

Pusat Keunggulan

Bangsa ini memiliki segenap potensi untuk menjadi unggul. Ada sekian faktor yang akan mendorong industri nasional terus bertumbuh. Mulai dari pasar yang sangat besar, kelas menengah yang terus bertambah banyak dan kekayaan sumber daya alamnya. Jika mau bekerja keras, semua potensi itu akan dapat dikembangkan, bahkan disebarkan ke seluruh penjuru negeri, sehingga jumlah ikutannya yang meningkat. Sebut saja PT Pertamina, dengan manajemennya sekarang, diyakini akan mampu menembus jajaran 50 besar perusahaan dunia. Demikian halnya dengan PT Garuda Indonesia, dari perusahaan yang dulunya rugi, kini menjadi perusahaan penerbangan yang disegani di dunia.

Demikian halnya, kita punya perguruan tinggi terkemuka, seperti UI, ITB, IPB, UGM dan yang lainnya, yang akan menjadi pusat keunggulan dalam pengembangan berbagai karya anak bangsa secara global. Kuncinya adalah inspiring leadership, kerja keras dan transformasi manajemen yang tidak kenal lelah.

Dalam beberapa kesempatan berkunjung ke Dubai, saya diberitahu bahwa berbagai gedung megah yang menghiasi kota tersebut adalah karya para talenta Indonesia. Selain ruang ekspresi yang terbuka dan sehat, dibutuhkan kepemimpinan yang menginspirasi di seluruh tingkatan, di level nasional hingga lokal. Kepemimpinan yang transformatif akan mendorong segenap kreatifitas berkembang, para talenta berkreasi dan mendapatkan segenap hak dan ruang ekspresinya. Semua potensi yang ada bertumbuh karena terfasilitasi dengan sangat baik. Hambatan birokrasi yang membunuh inisiatif dihapuskan dan dahsyatnya keberhasilan di segenap bidang akan dirasakan.

Kaum muda Indonesia, mari rayakan kebersamaan dan katakan selamat tinggal kepada mitos yang membelenggu. Yakinlah akan potensi diri, bergandengan tangan, peka melihat peluang, jauhi sikap EGP (emang gue pikirin). Bersama kita memandirikan bangsa, untuk kedaulatan dan kemakmuran. Mari jalani tahun 2014 dengan penuh optimisme.




*) Sandiaga S Uno adalah Ketua Yayasan Indonesia Forum, pendiri PT Saratoga Investama Sedaya

Produk Kami Lainnya :

iklan

 
ibs(idblogsite)