Habib Bugak dan Baitul A'syi

Peukan.com, Tidak banyak dari jamaah haji (hujjaj) Aceh yang mengetahui keberadaan Baitul Asyi (rumah orang Aceh) di Mekkah, tanah yang diwakafkan indatunya khusus untuk hujjaj dari Aceh. Warisan paling berharga yang diberikan para leluhur terdahulu sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap generasinya, kini menjadi aset bisnis pemondokan (hotel) yang megah dan strategis disekitar pelataran Masjidil Haram. 

Siapa Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi (Habib Bugak)
Menurut kebiasaan masyarakat Aceh memberikan gelar Habib kepada Sayed yang Alim dan memiliki kharisma serta kelebihan tertentu di masyarakatnya


Untuk mengenal pasti siapa Habib Bugak ini, Hilal Ahmar (Red Crescent) telah membentuk Tim Peneliti Habib Bugak yang dipimpin Dr. Hilmy Bakar (Crescent Consulting). 

Setelah mengadakan penelitian selama 6 bulan, maka dengan bertawaqqal sepenuhnya kepada Allah SWT, tim peneliti telah menyimpulkan bahwa  Melalui lembaran sarakata (surat Sultan) Aceh, tertera stempel kesultanan menunjukkan originalitasnya, disebutkan bahwa ia bernama Sayyid ‘Abdurrahman bin ‘Alwi Peusangan, yang diberi kuasa pengelolaan tanah di wilayah Mutiara di sebelah barat Blang Pancang hingga Krueng Air sebelah timur dan hingga perbatasan Krueng Geukueh. dan nama asli Habib Bugak Asyi atau Pewaqaf Baitul Asyi di Mekkah adalah Habib Abdurrahman bin Alwy Al-Habsyi (1720anM–1870anM).

Habib Abdurrahman bin Syekh Al-Habsyi lahir di Mekkah dan diperkirakan tiba di Kerajaan Aceh Darussalam pada sekitar tahun 1760an M atau bersamaan dengan masa pemerintahan Sultan Ala’addin Mahmud Syah (1767-1786 M), dan beliau tinggal di Aceh sampai wafat sekitar tahun 1870an M. Menurut surat Sultan Aceh tahun 1206H/1785M beliau ditugaskan Sultan untuk menjadi T.Chik (Sultan Lokal) di daerah utara yang kekuasaannya dari Kuala Peusangan, Pante Sidom, Bugak, Monklayu, Labu, Mane’ sampai ke Cunda dan Nisam. Surat Sultan Aceh dengan CapSikurueng bertahun 1224H/1800M dan 1270H/1825M, mengukuhkan kedudukan beliau sebagai T.Chik, Laksamana-Bentara dan Qadhi-Khatib, Wakil Sultan di sebelah Utara Kerajaan Aceh yang berpusat di Monklayu dengan kota syahbandar di Kuala Ceurapee. 

Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Habib Abdurrahman menjadi seorang hartawan yang memiliki tanah pertanian luas di sepanjang pantai utara Aceh, dari Kuala Peusangan sampai ke Cunda saat ini. Sampai sekarang keturunan Habib Abdurrahman Al-Habsyi banyak dijumpai di Peusangan, Bugak, Monklayu, Bungkah, Lhoksemawe sampai ke Panton Labu dan Idi di Aceh Timur.

Menurut penelitian Sayed Dahlan bin Habib Abdurrahman Al-Habsyi (60 thn), kakek buyut beliau Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-Habsyi adalah Habib dan Ulama terkemuka yang sebelumnya tinggal di lingkungan Ka’bah Mekkah Almukarramah sebagai salah seorang anggota penasihat kepada Syarif Mekkah pada pertengahan abad 18 M (1740-1760an M). 

Pada masa itu Syarief Mekkah yang dipegang para Habib, Sayyid dan Syarief keturunan Rasulullah memiliki tempat khusus di kalangan Sultan dan Penguasa Muslim di Nusantara, terutama Kesultanan Aceh Darussalam yang merupakan tradisi sejak Kerajaan Islam Pasai pada abad ke 13 M. Jika ada masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan, maka mereka akan meminta fatwa dari Habib dan Ulama di Mekkah. Sementara Aceh memiliki kedudukan yang sangat khusus sebagai Serambi Mekkah, yang menurut satu pendapat dikatakan sebagai tempat mengambil keputusan atau fatwa agama dan sumber rujukan bagi Nusantara karena para Ulama Aceh memiliki drajat pengetahuan yang sama dengan Ulama di Yaman, Hijaz maupun Mesir. Karena sebagai serambi Mekkah inilah, maka Aceh selalu mendapat perhatian khusus Syarief Mekkah yang memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. 

Hal senada disampaikan pula oleh Sayed Muhammad bin Sayed Husein bin Habib Shafi Al-Habsyi (80 thn) yang tinggal di Sampoinit Baktia Barat Aceh Timur.

Menurut kedua nara sumber ini (Sayed Dahlan dan Sayed Muhammad) yang diceritakan melalui lisan dari generasi ke generasi sebagai tradisi para Sayed, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi datang ke Bandar Aceh Darussalam, ibu kota dan pusat pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam masa itu, sekitar awal atau pertengahan abad ke 18 (kira-kira thn 1760-an) bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Ala’addin Mahmudsyah(1767-1787) atas perintah dari Syarief Mekkah untuk menyelesaikan perbedaan faham antara Keturunan Sayid/Habib dengan keturunan para Sultan sejak zaman pemerintahan Sultan Ahmadsyah Johan (1735). 

Perbedaan ini terjadi ketika Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Syah Jamalullayl sebagai keturunan Sayyid menggantikan Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah, yang juga istrinya, dari keturunan Sultan Aceh atas dasar fatwa Syarief Mekkah dan dukungan uleebalang atau raja-raja kecil. Pertikaian ini selanjutnya berterusan sampai zaman Tuanku Sayid Hussein al-Aidit dengan keturunan Sultan Alaudin Ahmad Syah Johan.

Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi datang ke Bandar Aceh, menurut Sayed Dahlan, bersama dengan beberapa orang Habib, Syekh dan Ulama sebagai utusan Syarief Mekkah yang akan meneruskan tugas-tugas yang telah dijalankan sebelumnya oleh Habib Abu Bakar bin Husein Balfaqih (w.1100 H) yang terkenal dengan Habib Dianjung, terutama dalam mendamaikan masyarakat Aceh yang sedang berada pada konflik internal yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan dan juga oleh faham teologi keagamaan yang tidak toleran yang diajarkan Syekh Nuruddin al-Raniry sebelumnya yang menimbulkan perpecahan dan perang saudara di Aceh. 

Karena para Habib dan Ulama ini berhasil mendamaikan dan mengawal perdamaian para pemimpin Aceh yang menghasilkan sebuah rekonsiliasi masyarakat, maka mereka diberi kehormatan dan diminta menetap di Aceh. Para utusan Syarief Mekkah ini, semuanya memilih tinggal di Aceh memberikan pelajaran agama, administrasi, kemiliteran dan pelajaran lainnya kepada masyarakat Aceh.

Bersama-sama dengan para Habib dan Ulama lainnya, Habib Abdurrahman Al-Habsyi membimbing dan mengajar masyarakat Aceh, sekaligus menjadi penasihat kepada Sultan Aceh, baik yang berhubungan dengan masalah keagamaan, sosial, politik sampai kepada pertahanan. Kerena kelebihannya dalam ilmu agama dan ilmu pemerintahan, 

Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi diminta Sultan Aceh untuk pindah ke wilayah utara Aceh dan diberi kehormatan dengan diangkat sebagai Teuku Chik, jabatan yang dibentuk Sultan untuk menggantikan peranan Uleebalangsebelumnya, yang memiliki kekuasaan meliputi daerah Peusangan, Bugak, Pante Sidom, Monklayu, Teluk Iboh, Maney, Lapang, Paya Kambi, Nisam sampai Cunda dan sekitarnya sebagaimana yang tercantum dalam dokumen bertahun 1224 H (1800 M), 1270 H (1855 M) dan 1289 H (1872 M) di atas logo cop Sekureng yang merupakan surat resmi Kesultanan Aceh Darussalam di tandatangani oleh Sultan Mahmud Syah dan Sultan Mansyur Syah yang ditemukan di rumah Sayed Abdurrahman bin Sayed Burhanuddin bin Sayed Abdurrahman bin Habib Shafi Al-Habsyi di Panton Labu Aceh Utara.

Dari dokumen-dokumen tersebut pula diketahui bahwa tugas Habib Abdurrahman bukan hanya mengurus administrasi pemerintahan semata, namun sekaligus sebagai seorang hakim (Qadhi) yang memutuskan perselisihan menurut hukum agama, Imam masjid, khatib jum’at, ulama sampai kepada wali hakim dalam pernikahan ataupun perceraian fasakh. Disebutkan pula tugas sebagai penerima waqaf mewakili Sultan, mengumpulkan pajak nangroe untuk Sultan dan beberapa tugas sosial lainnya. Dalam sebuah dokumen yang bertahun 1785 M (1206 H) bahkan disebutkan bahwa Habib Abdurrahman telah mengusir hama tikus yang merusak padi masyarakat di sekitar wilayah kekuasaannya, Peusangan dan sekitarnya. Atas kedudukannya tersebut, Habib Abdurrahman dan anak keturunannya kemudian dianugrahkan tanah luas oleh Sultan yang terbentang di antara Jeumpa sampai Monklayu Gandapura.

Menurut penelitian Sayed Dahlan yang dikuatkan dengan dokumen Kesultanan Aceh bertahun 1224 H (1800 M) yang ditandatangani Sultan Mahmud Syah, Habib Abdurrahman diangkat menjadi Bentara Laksamana karena memiliki kelebihan dalam bidang kemiliteran dan kelautan, yang bertugas menghalau kapal-kapal perang penjajah Belanda yang ingin menguasai Aceh. Markas besar beliau adalah di delta Sungai Krueng Tingkeum Monklayu yang sangat strategis. Maka sejak saat itu Habib Abdurrahman kemudian tinggal di Monklayu sebagai tokoh pemerintah dan ulama yang dipercaya Sultan yang seterusnya dilanjutkan oleh anak keturunan beliau.

Sejak Habib Abdurrahman menjadi Teuku Chik yang berkedudukan di Monklayu, maka mulai berkembanglah daerah tersebut, terutama Kuala Ceurapee menjadi salah satu daerah pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang, baik dalam dan luar negeri. Tempatnya yang strategis di delta sungai yang dapat menghubungkan dengan daerah hulu sungai sebagai sarana hubungan yang penting pada masa itu. Bersamaan dengan itu tumbuhlah pelabuhan-pelabuhan kecil seperti pelabuhan Kuala Peusangan (sekarang Jangka) yang terkenal memiliki hubungan dagang dengan Pulau Pinang Malaysia dan menjadi kota satelit perdagangan di sekitar utara Aceh. Hikayat-hikayat yang dijumpai disekitar daerah Kuala Peusangan/Jangka ataupun Kuala Ceurapee dan Monklayu menggambarkan bagaimana kemakmuran masyarakat di sekitar pelabuhan yang sangat sibuk dan penuh dengan perdagangan rempah dan hasil bumi lainnya. Itulah sebabnya pada awal abad 20an, Kota Bugak dan Kewedanaan Peusangan, yang sekarang menjadi Matang Glumpang berkembang pesat menjadi sentra bisnis yang menampung hasil bumi dari wilayah sekitarnya. Kemajuan daerah ini pada awal 1930an dibuktikan dengan berdirinya perguruan tinggi (al-Jami’ah) yang akan menjadi cikal bakal Universitas Al-Muslim. Pendeklarasian PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di tempat ini sudah menggambarkan kedudukan startegisnya.
Di ujung hayatnya, sekitar pertengahan abad ke 19 M (1850-1880 an M), bertepatan dengan dimulainya serangan-serangan Kolonialis Belanda terhadap Aceh, maka beberapa kapal armada laut Kesultanan Aceh ditempatkan di sekitar delta sungai Krueng Tiengkem, di Monklayu yang sangat strategis. Karena Habib Abdurrahman adalah Teuku Chik di Monklayu, maka secara otomatis Sultan memberikan tugas untuk menjaga armada kapal perang Kesultanan Aceh. Menurut cerita yang berkembang pada anak cucu beliau, Habib Abdurrahman ikut memimpin perlawanan terhadap Kolonialis Belanda, terutama dalam memimpin armada kapal perang dengan jabatan sebagai Bentara Laksamana yang berkedudukan di Monklayu.

Menurut Sayed Dahlan yang didasarkan pada penuturan dan cerita nenek moyang beliau, setelah menyerahkan tugas-tugasnya kepada anak sulungnya bernama Habib Husein di Monklayu, maka Habib Abdurrahman hidup dan menetap di sekitar Pante Sidom, Bugak, Peusangan sebagaimana juga tercantum dalam dokumen bertahun 1206 H atau sekitar tahun 1785 M yang menerangkan tentang aktivitas Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi. Sedangkan dokumen bertahun 1224 H atau sekitar 1800 M, yang berlogo Sultan Muhammad Syah, menerangkan tentang kehidupan Habib Abdurrahman dengan segala aktivitasnya sebagai seorang penguasa disekitar Bugak, Pante Sidom, Monklayu dan lainnya.

Setelah menjalankan kewajibannya, Habib Abdurrahman wafat pada usia 150an tahun, yang jika dihitung dari tahun wafat anak beliau Habib Husein pada 1304 H dikurangi sekitar 25-30 tahun lebih awal, maka beliau diperkirakan wafat pada sekitar tahun 1280an H atau 1860an M dan dimaqamkan di Pante Sidom, Bugak. Itulah sebabnya beliau dikenal oleh masyarakatnya sebagai Habib Bugak.

Menurut penuturan Sayed Dahlan, anak tertua Habib Abdurrahman bernama Habib Husein bin Abdurrahman AlHabsyi berangkat ke Mekkah untuk menunaikan amanah Habib Abdurrahman, termasuk untuk mengurus harta warisan beliau di Mekkah. Diantaranya berupa rumah disekitar Ka’bah sebagai warisan turun temurun keluarga besar Al-Habsyi. Karena mendapat nikmat dan penghormatan yang besar di bumi Aceh, maka Habib Husein atas wasiat Habib Abdurrahman mewaqafkan sebuah rumah untuk kepentingan masyarakat Aceh di Mekkah, baik jamaah haji ataupun mereka yang tinggal belajar. Itulah sebabnya, dalam ikrar waqaf tidak disebutkan nama pemberi waqaf, namun hanya mencantumkan Habib Bugak Asyi, untuk menghormati beliau yang telah tinggal di Bugak. 

Namun setelah ratusan tahun beliau wafat, yang diperkirakan pada tahun 1870an, atau bersamaan dengan penyerangan penjajah kaphe Belanda, tidak banyak yang mengetahui keberadaan beliau serta waqaf yang telah diberikannya kepada masyarakat Aceh di Mekkah, sampai dua musim haji terakhir ini (2006-2007). 
Makam Habib Bugak
Maka atas inisiatif Red Crescent (Hilal Ahmar), telah dibentuk panitia PEMBANGUNAN MAQAM HABIB BUGAK dengan tujuan membangun komplek maqam Habib Bugak agar memudahkan para peziarah yang hendak berdoa sekaligus untuk memberikan penghormatan kepada beliau yang telah memberikan manfaat kepada masyarakat Aceh. Panitia sudah mendapatkan persetujuan dari Bupati Bireuen untuk membangun Maqam Habib Bugak di Pante Sidom Bugak atas persetujuan dari Dinas Syari’at Islam Bireuen dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Bireuen. Panitia memohon dukungan moral dan doa kepada semua jama’ah agar pembangunan dapat segera dilaksanakan agar sejarah dapat dilestarikan dan menjadi i’tibar generasi sesudahnya.

Secara lengkap nasab beliau adalah Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh bin Hasyim bin Abu Bakar bin Muhammad bin Alwi bin Abu Bakar Al-Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Hasadillah bin Hasan Attrabi bin Ali bin Fakeh Muqaddam bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Baalwi Al-Habsyi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhadjir bin Isa Al-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Jafar Siddiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah (Ali bin Abi Thalib) binti Sayyidina Muhammad Rasulullah saw.


Sedangkan jika diurut dari bawah saat ini, maka Habib Abdurrahman adalah generasi yang ke 8. Sayed Maimun (Bugak,1958-skrg) bin Sayed Abdurrahman (Bugak,1927-2003) bin Habib Abdullah (Bugak,1903-1984) bin Habib Zein (Monklayu,w.?) bin Habib Shofi (Idi,w.?) bin Habib Ahmad (Monklayu, w.?) bin Habib Husein (Monklayu, w.1304 H / 1880 M) bin Habib Abdurrahman (Bugak-Pante Sidom, w.?) bin Alwi (Mekkah,w.?) bin Syekh dan seterusnya.



Lokasi Baitil Asyi
hotel Ajyad (Funduk Ajyad)
Baitil Asyi Salah satunya terletak di daerah Qusyasyiah bertepatan dengan bab al-Fath Masjidil Haram, seperti hotel Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat 25 dan Menara Ajyad (Burj Ajyad) bertingkat 28 yang terletak sekitar 500-600 M dari Masjidil Haram. Kedua hotel tersebut mampu menampung lebih 7000 jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap. Wakaf tersebut semakin bertambah dengan pembelian beberapa aset lagi. Hasil sumbangan, sedekah dan infak hujjaj Aceh diwakafkan dalam bentuk tanah dan rumah di seputar Masjidil Haram tersebut yang dikoordinir (diketuai) oleh Habib Bugak sekitar tahun 1224 H/ 1809 M.




Proses Wakaf Baitil Asyi
Pada tahun 1220an H atau 1800an M, 
Surat Wakaf Habib Bugak dengan Hakim Syari'ah Mekkah
Habib Abdurrahman kembali ke Mekkah menemui keluarga besarnya. Tercatat pada bulan Rabi’ul Akhir 1224 H, beliau mewakafkan sebidang tanah beserta rumah bersebelahan dengan Masjidil Haram untuk masyarakat Aceh, baik yang muqim atau jama’ah haji dengan menggunakan nama Habib Bugak Asyi (seorang Habib dari Bugak Aceh)

Tanah wakaf di Mekkah menunjukkan bukanlah milik Habib Bugak semata, akan tetapi juga secara kolektif dari jamaah haji Aceh setiap tahunnya yang dikelola oleh beberapa orang Aceh di Mekkah yang dipimpin oleh Habib Bugak pada periode tersebut. 

Faktanya adalah Habib Bugak dengan sadar mengikrar warisan tersebut di depan Hakim Mahkamah Syar’iyah Mekkah sekitar tahun 1224 H/ 1809 M mewakafkan tanah dan rumah untuk jamaah haji Aceh dan orang Aceh di Mekkah, bukan kepada anak cucunya, dan dikelola oleh nadhir (Badan Pengelola) wakaf dibentuk oleh Mahkamah. 

Setelah mewaqafkan hartanya, beliau kembali meninggalkan tanah leluhurnya di Mekkah untuk mengembangkan dakwah Islamiyah sepanjang hayatnya di bumi Aceh, terutama di Peusangan, Monklayu dan Bugak. Maka pada bulan Rajab 1224 H atau 3 bulan setelah beliau mewaqafkan hartanya di Mekkah, Sultan Aceh kembali mengeluarkan surat resmi yang mengukuhkan Habib Abdurrahman Al-Habsyi sebagai penguasa lokal wakil Sultan di Utara Aceh yang berpusat di Bugak. Itulah sebabnya dahulu Bugak sangat terkenal sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, sekaligus sebagai pusat dakwah dan pendidikan Islam di Aceh bagian utara yang telah melahirkan banyak sekali Tengku Alim Ulama sampai awal-awal kemerdekaan. Selanjutnya Bugak digantikan perannya oleh Matang Geulumpang Dua dengan berdirinya Dayah/Jami’ah (Universitas) Al-Muslim sekarang.

Demikian juga Baitul Asyi di Mekkah, wakaf Aceh di Mekkah sejak meninggal Habib Bugak hingga akhir abad 20 (1999), atau sekitar dua ratus tahun menjadi sangat misterius. Setiap orang Aceh tidak pernah tahu bagaimana pengelolaan warisannya, jumlah Baitul Asyi, dan pengurusnya. Namun, dibalik ketidak jelasannya, ia juga menjadi mutiara indah di tengah kota Mekkah, karena pada tahun 1980 pemerintah Indonesia melalui kedutaannya di Jeddah memohon untuk mengelola Baitul Asyi bagi jamaah Indonesia, akan tetapi ditolak oleh Mahkamah Syari’ah Arab Saudi. Alasannya sederhana, 


wakaf tersebut jelas diperuntukkan kepada jamaah haji Aceh, dan alasan kedua bahwa pada tahun 1809 negara RI belum terbentuk wujudnya, dimana Aceh sudah mengingkrarkan kedaulatan Kesultanannya.
Nadhir pertama Baital Asyi  adalah Syeikh Abdullah Baid Asyi, pengarang kitab Jarrah. Sekarang pengurus Baital Asyi Syekh Munir Abdul Ghani Mahmud Asyi yang dibantu oleh Syekh Khalid bin Abdurrahim bin Abdul Wahab Asyi dan diawasi oleh Kementerian Haji dan Wakaf Saudi Arabia, dengan menempatkan Syekh Dr. Abdul Lathif Balthu sebagai pengawas agar pengelolaan baitul asyi sesuai dengan ikrar wakaf  yang dilakukan oleh Habib Bugak Asyi 

Akhir tahun 1224 H pada masa kerajaan Aceh Darussalam.
Walaupun tidak ingin dikatakan hikmah dibalik duka gempa dan tsunami Aceh 2004, akan tetapi hujjaj Aceh mendapat perhatian khusus sejak pasca gempa-tsunami, termasuk transfaransi pengelolaan wakaf Aceh di Mekkah.  

Sejak tahun 2006 M (1427 H) nadhir Baitul Asyi telah melunasi kompensasi pemondokan kepada jamaah haji asal Aceh dengan total Rp 13,5 M, 
tahun 2007 (1428 H) sebesar Rp. 15 M, 
tahun 2008 (1429 H) sebesar Rp 14.54 M, dan 
tahun 2010 (1430 H) sebesar Rp. 14.878 M kepada 4.133 jamaah haji Aceh. 

Jika memang biaya pemondokan Baitul Asyi adalah hak hujjaj Aceh, maka seluruh hujjaj Aceh sejak awal tahun 18an hingga 2005 wajib dibayar sebagai kompensasi pemondokannya. 

Diperkirakan nilai wakaf Habib Bugak di Mekkah saat ini telah mencapai sekitar 200 juta Riyal atau sekitar 5,5 Trilyun Rupiah.

Jika Pemerintah Aceh sudah “baligh”, maka lazim untuk mengurus wakafnya berkoordinasi dengan nazhir Baitul Asyi dalam pengelolaan wakaf Aceh secara transfaran, professional, adil dan bijak. Karena wakaf Baitul Asyi bukan sekedar hitungan materi atau pengembalian dana pemondokan hujjaj Aceh. Namun juga kedewasaan dalam mengelola warisan leluhur, melayani tamu-tamu Allah sebaik-baiknya sehingga hujjaj Aceh dapat beribadah dengan nyaman dalam kondisi sehat dan prima. Semoga hujjaj Aceh dapat segera menempati Baitul Asyi untuk memudahkan melaksanakan ibadah, sekaligus dapat mengurangi panjangnya waiting list calon haji Aceh yang setia menunggu panggilan Allah.

dari berbagai sumber

Produk Kami Lainnya :

iklan

 
ibs(idblogsite)