Matahari Energi Yang Tak Terbatas


Peukan.com, Sinar matahari menjadi sumber energi alternatif untuk menghasilkan listrik. Terkendala biaya investasi dan komponen yang mahal.

Letak Indonesia yang dilewati garis khatulistiwa membuat hampir seluruh permukaan bumi di Tanah Air  ini dapat menerima sinar matahari. Energi surya yang melimpah itu bisa digunakan sebagai energi alternatif untuk menghemat penggunaan minyak dan batu bara.

Selain sumbernya tak terbatas, pemanfaatan sinar matahari juga tidak menimbulkan polusi yang bisa merusak lingkungan. Potensi energi matahari di negeri ini sangat banyak, sekitar 4.8 KWh/m2 (Kilo Watt hour per meter persegi) atau setara dengan 112 ribu GWp (Giga Watt peak) tapi baru sekitar 10 MWp (Mega Watt peak) yang digunakan. Sinar surya dapat diubah menjadi listrik dengan menggunakan teknologi sel tenaga surya atau photovoltaic.

Sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) telah dibangun di Indonesia, di antaranya di pulau Morotai, Kabupaten Kepulauan Morotai, Provinsi Maluku Utara. Masyarakat setempat dapat menikmati layanan listrik yang dihasilkan dari PLTS hybrid berkapasitas 600 Kilo Watt peak (KWp). Pengoperasian pembangkit itu mengurangi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) sekitar 800 liter per hari atau menghemat Rp 2,5 miliar per tahun.

Pemerintah mentargetkan pembangunan PLTS  sebesar 0,87 Giga Watt (GW) atau sekitar 50 MWp per tahun hingga 2025 mendatang. Itu menggambarkan potensi besar untuk mengembangkan energi surya di masa depan.

Tahun ini, pemerintah membuka lelang pembangunan 80 unit PLTS dengan kapasitas 140 MW di seluruh Indonesia. Sebagian besar pembangkit tersebut berada di Indonesia bagian timur, yaitu Papua, Papua Barat, Maluku, Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur.

PLTS dapat mengganti maksimal 20 persen beban listrik di suatu wilayah. Sebab pembangkit listrik dengan teknologi photovoltaic itu tidak menggunakan baterai dan beroperasi hanya siang hari. Adapun untuk investasinya, PLTS diperkirakan membutuhkan dana Rp 20 miliar per Mega Watt (MW). Itu berarti diperlukan biaya Rp2,8 triliun untuk membangun PLTS berkapasitas total 140 MW.

Besarnya biaya investasi membangun PLTS menjadi salah satu kendala. Masalah lainnya yaitu komponen  untuk membuat sel tenaga surya masih mengandalkan bahan impor. Harga listrik dari sel surya yang mencapai Rp 3000 per KWh pun masih di atas harga listrik dari energi lain, seperti dari energi nuklir Rp 200 dan batu bara sekitar Rp400 hingga Rp 600. “Jadi masih sepuluh kali lipat lebih mahal dari energi listrik dan air,” kata Muhammad Said Didu, perekayasa di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Mahalnya harga listrik dari energi surya itu akan lebih membebankan masyarakat. Kecuali  pemerintah mensubsidi proyek itu.  “Jangan coba memasukkan PLTS untuk masyarakat miskin, karena tidak akan ada yang mampu membayar teknologi yang sangat mahal,” ujar Said.

Dia menilai, PLTS tidak akan bisa menjadi sumber energi listrik nasional. Sebab, tegangannya masih sangat rendah. Juga  teknologinya yang mahal lantaran komponen sel tenaga surya masih diimpor. “(PLTS) hanya untuk penyinaran rumah, tidak lebih dari itu, tidak bisa dipakai untuk kebutuhan industri,” katanya.

Said mengaku sangat mendukung program pemerintah untuk menggunakan sinar matahari sebagai sumber energi. Namun untuk menerapkan solar cell di Indonesia masih sulit dan mahal. Harganya bisa mencapai Rp7 hingga 10 juta untuk ukuran 1 X 1 meter. “Bila PLTS dikembangkan dengan baik kan negara kita bisa berhemat batubara untuk cadangan energi alternatif,” katanya. Lantaran itu, kajian teknologi untuk menghasilkan energi yang murah harus terus dilakukan.

Arie Febstyo

Teknologi Photovoltaic
Sel tenaga surya menjadi komponen penting dalam Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang memakai teknologi photovoltaic. Terdapat  beberapa jenis teknologi sel tenaga surya. Namun, teknologi konvensional komersial yang digunakan saat ini memakai teknologi wafer silicon crystalline yang proses pembuatannya kompleks dan mahal.

Proses pembuatan sel tenaga surya konvensional dimulai dengan pemurnian silika untuk menghasilkan tingkatan silika tenaga surya (ingot). Dilanjutkan dengan proses memotong silika menjadi silika wafer. Selanjutnya, silika wafer diproses menjadi sel tenaga surya. Kemudian, sel tenaga surya diubah menjadi modul tenaga surya. Lalu, modul tenaga surya diintegrasikan menggunakan Balance of System (BOS) yang merupakan komponen tambahan, seperti sistem kontrol baterai, menjadi sistem PLTS.

Secara teknologi, industri photovoltaic di Indonesia baru mampu memproduksi modul surya dan mengintegrasikannya menjadi PLTS. Adapun sel tenaga surya masih impor.

Sumber: esdm.go.id

Produk Kami Lainnya :

iklan

 
ibs(idblogsite)